Bima Yudho Saputro atau yang kerap kali disebut Bima Lampung sempat mendadak viral karena konten sosial media yang ia buat. Ia membuat konten yang mengkritik pembangunan dan fenomena sosial di provinsi Lampung. Singkatnya, Bima memberikan penjelasan tentang alasan mengapa Lampung tidak maju-maju.
Tindakan Bima dalam mengkritik pemerintah Lampung mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Ditambah lagi dukungan Bima juga ikut didorong oleh risk mitigation yang payah dari pemerintah provinsi Lampung. Tidak hanya dipolisikan, keluarga Bima juga mendapatkan intimidasi yang kemudian dibantah oleh Gubernur Lampung yakni Arinal Djunairi. Hal ini justru semakin membuat Bima banjir dukungan dari publik dan menjadi kontra-produktif bagi pemerintah Lampung.
Bima dipolisikan akibat kritikannya yang dianggap mengandung ujaran kebencian. Dalam videonya, Bima sempat berkata, “gue berasal dari provinsi yang satu ini dajjal”. Bima beralasan bahwa jika tidak menyebut kata ‘dajjal’ maka tidak akan viral dan tidak didengar. Jika kita mengikuti logika berpikir Bima, maka kita bisa menyimpulkan bahwa Bima memang fokus pada viral campaign strategy dengan menggunakan diksi yang agresif dan disampikan untuk memberikan ejekan atau menyindir.
Tentu tidak ada yang salah dengan tujuan Bima yang ingin viral, melihat bahwa Bima juga adalah seorang influencer, dimana viral lebih penting daripada kedalaman konten, toh kita juga tidak mengetahui teknik riset apa yang digunakan Bima dalam slide show yang ia tampilkan. Namun disini juga kita bisa melihat bahwa Bima pun payah dalam melakukan risk forecasting dimana kata ‘dajjal’ yang ia gunakan justru menjadi celah untuk mengadukan Bima ke pihak berwajib.
Bima kemudian viral dan kritiknya membuat Bima mendapat glorifikasi baik di media masa maupun media sosial. Menindaklanjuti perhatian publik yang telah didapatkan, Bima kemudian masih terus aktif dalam mengomentari kasus yang ia viralkan. Bima tampak terbuai dalam ketenaran yang baru ia rasakan.
Tak lama Bima kembali membuat konten yang juga ramai diperbincangkan, namun kali ini Bima memberi sindiran kepada mantan presiden Megawati yang dia sebut dengan sebutan ‘janda’ serta kepada presiden Jokowi yang masa jabatannya akan segera habis. Konten Bima tersebut kemudian menjadi kontra-produktif bagi Bima. Warga net tidak memberikan tanggapan positif seperti sebelumnya.
Hal yang lebih lawak lagi dari Bima adalah Bima justru mencari perlindungan kepada pemerintah Australia dengan mengajukan Protection Visa. Bima meminta perlindungan agar dirinya merasa aman, permintaan Bima tersebut kemudian disebut-sebut telah disetujui oleh pemerintah Australia.
Protection Visa dari Australia adalah visa yang dikeluarkan oleh pemerintah Australia kepada masyarakat yang mencari suaka. Visa ini dikeluarkan kepada masyarakat yang memenuhi syarat sebagai pengungsi yang tidak bisa kembali ke negaranya karena takut akan penganiyaan berdasarkan ras, agama, kewarganegaraan, kelompok sosial ataupun politik. Kondisi-kondisi yang tidak sedang terjadi di Indonesia.
Protection Visa banyak diberikan kepada mereka yang negaranya tidak dalam kondisi stabil secara politik atau bahkan terjadi perang sipil berkepanjangan, seperti negara-negara di Timur Tengah. Kita bisa melihat dari data bahwa jumlah pengungsi terbanyak yang diterima Australia untuk mengajukan Protection Visa adalah dari negara Irak, Myanmar, dan Afghanistan.
Upaya Bima dalam mendapatkan Protection Visa bukanlah upaya mencari perlindungan karena jelas hal-hal tersebut tidak terjadi di Indonesia. Tidak ada juga upaya pengejaran dan penangkapan Bima ke Australia atas tindakannya. Bima jelas-jelas tidak menghadapi para petrus orde baru, ia hanya diadukan kepolisi. Pelaporan terhadap Bima adalah sebuah tindakan yang boleh saja kita sebut sebagai tindakan yang tidak tepat tapi bukan berarti menyalahi aturan, toh masalah laporannya diterima atau tidak itu perkara nanti.
Pencarian proteksi yang dilakukan Bima bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk penghinaan terhadap situasi di Indonesia. Ia berusaha menyamakan posisinya dengan para pencari suaka dari negara-negara berkonflik. Bima secara tidak langsung sudah menganggap Indonesia memiliki situasi yang sama dengan negara-negara doyan perang seperti di Timur Tengah sana. Hal ini membuat glorifikasi dan percakapan tentang Bima tampak sebagai sebuah dagelan cari sensasi.
Konten awal Bima terhadap Lampung memang layak diapresiasi, tapi tidak ada yang spesial dengan apa yang ia lakukan. Satu atau dua konten awal yang mengangkat topik ‘Alasan Lampung Tidak Maju-Maju’ mampu mematik percakapan terhadap kinerja pemerintah Provinsi Lampung.
Namun, apresiasi serupa tidak layak diberikan untuk konten setelahnya dan bagaimana Bima memposisikan diri setelah ia menjadi viral. Segala diskursus dari Bima dan terkait Bima tampak seperti komedi dagelan. Bima yang terbuai dalam gemerlap fenomena viral di sosial media yang sangat cepat berganti membuatnya tampak semakin lawak dalam beropini.
Hal yang Bima lakukan tidak layak disebut sebagai gerakan aktivisme. Penampilan Bima di sosial media tampak sebagai dagelan komedi yang sekedar mencari sensasi. Pada akhirnya Bima adalah seorang influencer sosial media yang tujuannya untuk menjadi viral dan bukan memberikan isi dan esensi. Fenomena Bima ini juga bisa terlihat sebagai sebuah ironi berkembangnya sosial media saat ini dimana keviralan seolah menjadi justifikasi dan menjadi standar untuk opininya bisa dianggap penting. If you think so, It’s actually not. Don’t be deluded, kid.
Jika beberapa tahun lalu kita sering mendengar bahwa konten Wikipedia tidak bisa dipercaya karena bisa ditulis oleh siapa saja, maka sosial media saat ini dan beserta seluruh diskursus yang terjadi didalamnya adalah cerminan dari Wikipedia dimasa lalu dalam kacamata situasi saat ini. Sebuah ruang yang bisa dieksploitasi oleh siapa saja. Sayangnya dulu orang yang entah siapa menulis konten untuk Wikipedia tidak akan menjadi viral, itu saja bedanya. Oh, konten dalam Wikipedia juga bisa langsung kita baca tanpa harus melihat joget-joget aneh untuk melihat keseluruhan kontennya
Bima adalah satu dari banyaknya influencer sosial media diluar sana yang saling berlomba untuk menjadi bintang pada platform mereka masing-masing hingga kemudian menjadi viral. Mereka berlomba dalam mengkapitalisasi niche market mereka masing-masing, baik itu berbicara mengenai lifestyle, menjadi bucin atau bahkan berbicara politik. Tidak lebih dan tidak kurang.
Oleh: Putu Radar Bahurekso