“Anak-anak generasi Z (gen Z) Indonesia saat ini lebih condong mengadopsi budaya luar dibandingkan budaya leluhur Indonesia,” ungkap Koordinator Nawasena, Wulandari Sawitri Candra Wila, sebagaimana dikutip melalui situs Media Indonesia.
Ia juga melanjutkan bahwa meski Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa DNA manusia Indonesia adalah seni dan budaya, gen Z lebih melirik budaya impor dibandingkan budaya sendiri. Budaya impor dipandang lebih menggugah dibandingkan budaya leluhur yang adiluhung.
Pernyataan serupa juga diungkapkan Muhammad Dailami Dangga. Dalam artikel berjudul Berkurangnya Minat Generasi Muda terhadap Budaya Indonesia, ia mengungkapkan bahwa banyak pemuda gen Z memandang budaya leluhur Indonesia sebagai “budaya yang kuno dan tidak mengikui zaman,” dan lebih senang mengadopsi budaya populer yang datang dari luar.
Dari kedua pernyataan tersebut, kita dapat melihat bahwa terdapat kritik terhadap budaya Indonesia. Meski begitu, belum ada data yang tegas tentang berapa persen tingkat kecintaan pemuda, terutama gen Z, terhadap budaya Indonesia.
Apakah benar jika pemuda dewasa ini cenderung mengadopsi budaya luar? Apa yang dimaksud dengan budaya Indonesia? Atau bahkan, makhluk jenis apakah budaya tersebut, sehingga publik mengatakan bahwa pemuda, dalam hal ini generasi Z, tidak peduli dengan budaya leluhur?
Mengutip Koentjaraningrat, Bapak Antropologi Indonesia, dalam buku Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, kebudayaan merupakan segala hal yang bersangkutan dengan budi dan akal, merpakan suatu perkembangan dari pertemuan kekuatan akal.
Bagi Koentjaranigrat, kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni pertama ide, gagasan serta nilai-nilai norma-norma peraturan, kedua, aktivitas kelakuan berpola manusia dalam sebuah komunitas masyarakat, serta ketiga benda-benda hasil karya manusia.
Kebudayaan, masih menurut Kontjaraningrat, memiliki tujuh unsur yang bersifat universal, yakni (1) sistem bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) sistem sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem religi; dan (7) kesenian.
Hal senada juga diungkapkan Sumanto dalam artikel Budaya, Pemahaman dan Penerapannya. Menurutnya, kebudayaan merupakan pola asumsi dasar sekelompok masyarakat yang secara sistematis diturunkan dari generasi ke generasi melalui proses pembelajaran untuk menciptakan cara hidup tertentu yang paling cocok dengan lingkungannya. Ketujuh unsur kebudayaan dalam bentuk ketiga wujudnya mengalami proses transmisi dari dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui bahasa dan simbol.
Dewasa ini, dari ketujuh unsur dan tiga wujud kebudayaan, hanya kebudayaan dalam bentuk hasil-hasil kesenian yang sering kali dimaknai sebagai budaya oleh masyarakat Indonesia. Menelisik perjalanan sejarah bangsa Indonesia, hal ini disebabkan oleh penciptaan puncak-puncak kebudayaan oleh pemerintah Orde Baru (Orba).
Orde Baru, melalui politik kebudayaan yang mereka terapkan, meringkas seluruh wujud dan unsur kebudayaan suatu masyarakat, dan hanya menampilkan kebudayaan yang dirasa dapat menampilkan peradaban bangsa Indonesia yang adiluhung. Hal tersebut diwujudkan dalam proyek disneyland berwujud Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII).
Mengutip Shelley Errington dalam buku The Death of Authentic Primitive Art: And Other Tales of Progress, pemerintah Orba “menciptakan kebudayaan untuk Indonesia.” Apakah hasil politik budaya peninggalan Orba ini yang dipertanyakan oleh Wulandari Sawitri Candra Wila dan Muhammad Dailami Dangga seperti dikutip pada awal tulisan ini?
Kembali mengenai budaya leluhur, sebenarnya generasi Indonesia saat ini masih mewarisi banyak kebudayaan dan tradisi nenek moyang. Jika kita melihat kembali pernyataan Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya yang terkenal, Manusia Indonesia, dua dari enam ciri manusia Indonesia adalah percaya takhayul dan lemah watak atau karakternya.
Mengenai poin pertama, kepercayaan akan takhayul, manusia Indonesia masih mempercayainya hingga saat ini. Bahkan, beberapa bulan yang lalu, Indonesia dikejutkan dengan pembunuhan yang dilakukan Tohari alias Mbah Slamet, sang dukun pengganda uang. Kepercayaan masyarakat Indonesia akan mitos begitu kuat, sampai pada satu titik, mereka sulit membuatnya rasional.
Mengenai poin terakhir, lemah watak atau karakter, Koentjaraningrat, melalui bab Aneka Warna Manusia dan Kebudayaan Indonesia dalam Pembangunan yang terdapat dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, dengan tegas mengungkapkan bahwa manusia Indonesia dari pulau Sumatra hingga Papua masih terlalu lemah dalam watak dan karakter sehingga sulit untuk mendukung pembangunan bangsa.
Melihat kenyataan ini, sudah seharusnya kebudayaan tidak hanya dipandang sebagai produk-produk kesenian yang serba indah. Kebudayaan perlu dilihat secara lebih luas lagi dan lebih mendalam lagi kepada jati diri kita sebagai sebuah bangsa. Dalam aspek yang paling kecil, yang tidak disadari banyak orang, budaya justru mempengaruhi gerak kehidupan masyarakat Indonesia.
Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan sebuah “Generasi Emas” pada 2045, langkah vital yang perlu diperhatikan adalah memberikan pemaknaan kembali atas segala hasil budi yang telah diciptakan selama ini, serta mampu berfikir kreatif tentang bagaimana menghubungkan konsep tradisional dan modern, luhur dan popular.
“Indonesia Emas” bukan hanya persoalan GDP, pendapatan, atau modernisasi semata. Yang terpenting justru bagaimana Indonesia, sebagai sebuah negara-bangsa, mampu naik kelas secara peradaban. Ini semua berangkat dari salah satu unsur paling vital dalam membentuk tatanan sosial masyarakat, ialah budaya.
Oleh: Putu Prima Cahyadi